“Aneh, saya kok jadi mikirin si Pinokio itu. Saya kasihan. Dia telah begitu baik. Setelah ini berakhir saya baru mikir bahwa semua katakatanya itu benar. Kata-kata yang selalu dia ucapkan kala dia datang kemari. Dia begitu penuh perhatian. Kamu tau. Pus, kalau saya butuh sesuatu, dak tak sengaja saya ucapkan di depan dia, besoknya dia sati membawa barang yang saya butuhkan. Buku pelajaran, rapido, cat air... dan saya jadi mersa hutang budi. Merasa dosa telah mengecewakan dia. Saya kasihan. Saya kok jahat, ya? Padahal bisa saja saya belajar mencintainya.”
Lupus tertegun.
“Enggak, Lu. Kamu salah kalau kamu memulai mencintai seseorang dari rasa kasihan. Kamu akan menyesal. Percaya deh. Oke, untuk beberapa saat kamu bisa mencintainya. Tapi selanjutnya kamu akan merasa terjebak. Ingin melepaskan diri tapi nggak bisa. Kamu masih terlalu kecil, Lu, untuk serius pacaran seperti itu. Kamu masih butuh banyak mencoba. Seseorang itu untuk memilih pilihan yang tepat, butuh menjajaki beberapa calon. Kita kan tak mungkin bisa menilai satu yang terbaik tanpa membandingkannya dengan yang lain. Makannya, Lu, kamu nggak salah. Teruskan aja menuruti apa kata hatimu. Dengan begitu kamu kan akan matang sendiri.”
“Kamu emang pinter berkicau, Pus!” ledek Lulu gembira.
•••
Lupus terbangun ketika matahari sudah mulai tinggi. Dia kaget dan langsung menyambar handuk untuk cepat-cepat mandi. Mandinya juga ala -