Pages

Pages*4

   Makanya Lupus kasihan. Sebetulnya dia benar-benar nggak mau memperalat adiknya untuk menikmati hasil-hasil suapan itu. Dia hanya berprinsip seperti dulu : nggak mau ngecewain orang yang ngasih makanan. Tapi kalau ada maksud-maksud dibalik itu semua ya entar dulu. Bagaimanapun mengkomersilkan adik sendiri adalah perbuatan yang kurang baik. Oleh karena itu, pada suatu pagi, saat mereka berdua selalu bersama-sama berjalan ke tempat pemberhentian bis yang jauh, saat udara masih begitu bersih dan segar, saat bulan masih tersisa di barat (wi, puitis ni yel...), Lupus menawarkan jasanya untuk bicara dari hati ke hati dengan cowok nekat itu. Sebagai sesama remaja, sesama cowok. Asal saja Lulu punya alasan yang tepat untuk menolak cintanya.

   “Bilang aja saya masih ingin belajar. Masih nggak mau terganggu oleh hal-hal seperti itu dan selebihnya bisa kamu karang sendiri. Kan kamu bisaan kalo bohong!” sahut Lulu.

   “Sialan! Tapi kamu memang serius masih mau konsentrasi ke pelajaran kan?”

   “Iya dong! Kan sebentar lagi saya ujian esempe.”

   Dan sorenya Lupus langsung ke rumah cowok itu. Datang dengan sopan dan penuh kekeluargaan. Sehingga cowok itu pun bisa mengerti. Jawabannya pun terdengar sopan sekali, “Saya mengerti. Okehlah kalau memang belum saatnya bagi dia, saya akan menunggu. Sampai kapan pun. Sampai dia merasa siap. Sampai dia menyadari betapa saya sangat mencintainya. Kamu tau, biasanya cowok sekarang itu pandai mengobral cinta, sehingga membuat derita pada sang cewek. Tapi saya tidak. Cinta saya pada Lulu adalah ibarat api olimpiade yang tak kunjung padam...!”

   Lupus hanya manggut-manggut. Bukannya ngerti, tapi ngantuk diceramahi begitu. Tapi dia toh senang, berarti masalahnya telah beres. Dan Lulu pun senang mendengar usahanya berhasil. Sebab sejak saat itu si pinokio itu tak pernah datang lagi.


•••