Pages

Pages*35

Saya benci sekali acara mapras-maprasan seperti itu."

   "Kenapa?"

   Dia tak segera menjawab. Seperti menimbang-nimbang dulu. Lupus tetap menunggu.

   "Karena Kakak saya. Dia cedera waktu ikut Mapras di universitasnya. Ketika itu dia disuruh membawa balon gas yang banyak ke atas gedung untuk dilepaskan. Tiba-tiba ada seorang panitia yang merokok. Apinya mengenai balon tersebut. Seketika meledak. Wajah kakak saya terbakar. Terpaksa dirawat di rumah sakit. Siapa yang menanggung risiko kalau begini?"

   Lupus tercekat. Dia melihat mata Rina berair.

   Dia sendiri sebetulnya kurang suka pada acara tersebut. Apalagi kalau mendengar ceritacerita orang lain yang tampak sadis. Pantas saja Rina begitu menentang mapras di SMA Merah Putih.

   "Tapi kamu lupa, Rin, itu kan di universitas. Dan kini juga mulai dilarang kalau sampai keterlaluan. Itu juga bukan disengaja. Nah, untuk SMA kita, nggak terlalu berat kok. Paling membersihkan halaman, kelas, dan-yeah, dibentakbentak sedikit. Kamu tau, Rin, masa-masa perkenalan sekolah itu adalah masa yang paling berkesan buat kita, sebagai remaja. Saat kita merasa senasib, nggak beda kaya atau miskin. Samasama dicabut haknya. Pokoknya berkesan deh, meski kalau disuruh mengulangi... wah. Amitamit. Ogah. Saya juga tadinya benci sekali. Tapi pas malam terakhir, di mana kita semua bikin acara ke luar kota, wah rasanya terharu sekali. Rugi deh, kalau nggak pernah ngerasain."

   Dan beberapa hari kemudian, Mapras itu sendiri tetap dilaksanakan. Kep-sek berbaik hati menurunkan izin resminya, sehingga anak-anak kelas satu mau nggak mau harus ikut. Tentu saja Lupus tetap merahasiakan identitas Rina, sehingga ketika Mapras itu berlangsung, para panitia sudah melupakan selebaran tersebut.

   Lupus kini sedang sibuk mencari-cari Rina di antara para siswa baru yang dikuncir lima rambutnya. Maksudnya, siswa cewek, gitu. Semua siswa baru itu sedang mendapat tugas meminta