Pages

Pages*33

anak-anak senior tak punya izin dari kepala sekolah.

   Makanya mereka sekarang kebingungan. .

   "Ayo dong, gimana jalan keluarnya. Apa kita harus mencari siapa yang membuat dan menyebarkan pamflet tersebut? Ayo dong. Ada pendapat nggak? Lupus, kamu kok dari tadi diem melulu. Gimana nih wartawan kita...."

   Lupus cuma menggaruk-garuk rambutnya dengan males. Dia di samping ngantuk memang lagi sedih banget. Gara-gara di PHK sama ceweknya, Poppi. Jadi sama sekali nggak lagi mood untuk ngasih ide. Andang pun melemparkan pertanyaan kepada anak lainnya. Di situ ada Irvan, Boim playboy duren tiga, Andy, Roni, bahkan Ruri biang gosip yang cerewet. Tumben, kali ini Ruri nggak banyak omong. Mungkin lagi sakit gigi. Tapi kompensasinya jadi kentut melulu. Sudah tiga anak jadi korban, dan pindah tempat duduk. Nggak mau dekat-dekat dia lagi.

   Rapat pun semakin ramai ketika ketua OSIS muncul. Anak-anak lain juga mulai berdatangan. Membahas kemungkinan siapa yang membuat pamflet itu. Membahas jalan keluar yang ditempuh. Ketika mereka saling berdebat, Lupus jadi suntuk. Secara diam-diam dia menyelinap keluar.

   Dia memang kurang suka acara begituan. Mending jajan, terus pulang.

•••

   Sampai keesokan harinya, mereka para senior belum menemukan jalan keluar yang baik. Juga siapa penulis selebaran gelap itu. Meski sudah dipastikan ada dua kemungkinan; anak baru atau justru seorang senior yang nggak setuju diadakannya acara tersebut.

   Cuma Lupus yang kelihatan tak peduli.

   Ketika bel istirahat, dia duduk sendirian di belakang kantin. Menikmati bihun goreng yang dibungkus daun. Secara iseng membaca selebaran yang konon membuat heboh itu. Sebagian memang sudah dirobek, tapi secara misterius bisa muncul kembali.

   Lupus membaca dengan saksama. Hm, boleh juga, gumamnya. Tapi tiba-tiba dia menemukan