Pages

Pages*26

berikan kursinya kepada Pppi. Malah asyik baca buku teks sekolah. Sial, apa ini yang namanya emansipasi?

   Tapi pemuda itu ya nggak bisa disalahkan. Dia toh nggak mungkin bela-belain ngasih duduk buat Poppi, untuk kemudian ikutan berbungkukria bersama para penumpang lainnya. Kan pegel sekali tuh. Mana biasanya metro itu jalannya kayak keong. Pelan banget. Nggak puas-puasnya cari penumpang lain. Poppi jadi nyesel. Ternyata naik bis umum tak seindah yang dia bayangkan.

   Gimana bisa cari jodoh dengan keadaan kelipet-lipet begini? Apa karena belum biasa aja? Untung hari masih pagi. Saat orang baru pada mandi, dan belum berkeringat. Coba kalo nanti siang. Idih! POPPI jadl nyesel tadi pesan kalo siang nanti nggak usah dijemput.

•••

   Tapi usaha untuk membalas sakit hatinya tidak kandas sampai di situ. Tak seperti biasanya, Poppi menerima ajakan Fadly yang memang sering menggodanya. Nonton bersama, ke diskotik bersama; ke restoran mewah bersama. Kencan dengan Fadly memang lebih enak. Dia lebih banyak tau tentang tempat-tempat yang biasa dikunjungi remaja. Yang sebelumnya nggak pernah dikunjungi Poppi. Tetapi tetap, Poppi merasa ada yang kurang. Saban malam, dia masih sering merasa sendiri lagi. Kebahagiaan itu memang hadir saat dia berjalan-jalan dengan Fadly. Tetapi setelah itu, dia seperti dikembalikan kepada dunianya yang sepi. Merasa sendiri lagi di waktu malam. Aneh, biasanya nggak begini kok.

   Dia bener-bener nggak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau kadang-kadang saat malam telah larut-dia rindu pingin ketemu Lupus. Pingin ngobrol-ngobrol dengannya. Pingin jalan-jalan lagi menelusuri pusat pertokoan. Jalan sama Lupus banyak seninya.

   Maka malam itu Poppi sudah nggak tahan lagi. Dia buat surat yang panjang sekali buat Lupus. Menanyakan kebenaran gosipnya dengan anak-anak baru di kelas satu. a ya, Lupus sekarang sudah naik ke kelas dua.