Pages

Pages*27

•••

   Di suatu pagi yang dini, Lupus terlihat menghampiri Poppi yang sendirian di kantin sepi. Anak-anak banyak yang belum datang. Memang sudah diatur begitu kok, supaya suasananya lebih mesra.

   "Hai, Pop, saya udah terima surat kamu. Hebat. Ternyata kamu berbakat jadi pengarang novelet," sapa Lupus begitu dekat. Poppi membuang muka.

   Tapi, oh God, dia rindu suara jelek Lupus itu.

   "Dan sekarang terbongkar bukan skandalskandal mu dengan para bintang-bintang baru itu? Iya?" sahut Poppi ketus.

   "Hei, you have no right to say like that to me!" Lupus jadi serius.

   "0, yes I do!" Poppi nggak mau kalah, "Ngaku aja. Beritanya sudah menyebar kok. Kamu pacaran sama artis Evita itu, sama anak kelas satu atau sama anaknya ibu kantin yang di Bandung. Iya, kan? Apa sih yang kurang dari saya selama ini? Saya sudah cukup pengertian, cukup sabar, cukup... apa lagi ya?"

   "Cukup kasih sayang...."

   "Ya, betul. Cukup kasih sayang. Terus apa lagi yang kamu tuntut, he?"

   "Enggak ada. Saya nggak nuntut apa-apa kok. Cuma kamu lupa, pacaran itu juga harus pake rasio dong. Pake pikiran yang matang. Kedewasaan."

   "Lho, apa kamu anggap saya ini nggak punya rasio?"

   "Punya, tapi ketutup emosi kamu. Coba aja kamu pikir, mana sempat saya pacaran dengan gadis sebanyak itu. Sama kamu aja, saya udah sering kerepotan. Saya kan meski masih sampingan, udah kerja juga. Coba-coba belajar cari duit. Hampir seluruh waktu luang saya tersita untuk kerjaan saya di majalah. Wawancara, nulis berita, les Inggris, melukis, belum lagi kalau di kampung ada kondangan. Kan rugi sekali kalau enggak datang.

   "Jadi mana sempat? Dan semua itu saya lakukan demi kamu., Demi masa depan saya...."