Pages

Pages*25

kemungkinan ketemu orang yang belum dikenal lebih besar daripada diantar supir sendiri. Apalagi pada jam-jam sekolah, kala bis kota seperti bis sekolah saja. Berisi anak-anak sekolah dari segala jenis.

   Poppi belum pernah merasakan itu. Makanya ia begitu ingin. Dia juga tau kalo Lupus itu sering kenalan dengan cewek-cewek lain di bis. Seperti gosip yang menyebar itu, yang mengatakan bahwa Lupus kenal sama cewek baru kelas satu itu di bis. Katanya rumah ceweknya itu dekat dengan rumah Lupus. Suka naik bis bareng-bareng.

   Jadi kenapa Poppi nggak coba begitu?

   "Tapi sekolah kamu kan jauh, Pop? Harus dua kali naik bis?" bapaknya mencoba membujuk.

   "Nggak apa-apa."

   "Kalau ada tukang copet atau apa begitu?"

   "Nggak takut."

   Dan pagi itu, jalanlah Poppi sendirian ke tempat pemberhentian bis. Menunggu metro-mini jurusan Blok M. Tapi Poppi bener-bener nggak nyangka kalau pada jam-jam sekolah begini bis-bis pada penuh semua. Sarat dengan penumpang, yang bukan anak sekolah aja. Tapi kuli-kuli bangunan, orang kantoran atau juga inem-inem yang mau ke pasar. Poppi yang tak mau menanggung rekiso eh, risiko terlambat, langsung saja menyetop metro-mini walau sarat dengan penumpang. Metro itu langsung berhenti. Sejenak Poppi terpana di tempat. Gimana cara masuknya? Kok penuh banget?

   "Ayo, Neng, .cepat! Kosong kok di dalam," rayu kondektur itu sambil menarik-narik tangan Poppi. Sementara di bangku belakang, sederetan anak muda bersorak-sorak menggodanya. Dia stil cuwek.

   Poppi naik ke tangga. Dari belakang, kondektur yang kurang ajar itu mendorong-dorong dia. Memaksanya untuk masuk lebih ke dalam lagi. Aduh . orang kok udah kayak sarden aja? Dijejeljejelin. Mana atap metro itu rendah sekali. Terpaksa Poppi berdiri sambil membungkuk. Berbaur dengan keringat-keringat orang lainnya. Dan ia keki banget, karena cowok-cowok yang kebagian duduk, nggak mau berdiri untuk mem-