Pages

Pages*16

ya tak apa. Malah memudahkan kalau mau bikin puisi atau cerita yang sedih-sedih. Nggak usah sulit-sulit mengkhayal. Tinggal tulis aja pengalaman pribadinya, beres!

   Sedang Evita kan sulit kalau mau bikin cerita sedih. Butuh penghayatan luar biasa. Tapi lupakan dulu hal itu. Kita lihat saja Lupus yang lagi sedikit panas dingin karena diliatin terus oleh Evita yang manis. Nggak tau kenapa, dia memang suka grogi begitu kalau diliatin cewek cakep.

   Dengan kaku, Lupus mengeluarkan tip dan secarik kertas yang berisi daftar pertanyaan. Evita tergelitik untuk melirik apa yang tertulis di balik daftar penanyaan. Maka dengan sedikit paksa, dia merebut secarik kertas itu.

   "Lihat deh. Boleh, kan?"

   "Eh, jangan...," Lupus kaget, tapi Evita sudah merebutnya. "Itu daftar pertanyaan kok. Saya bikin supaya nggak lupa. Soalnya terus terang, saya kalo lagi grogi suka lupa apa yang mau ditanya. Balikin dong...."

   Evita cuwek. Sambil mengernyitkan kening membaca kertas itu. Lalu senyum-senyum sendiri.

   Lupus jadi curiga.

   "Kamu mau wawancara atau mau belanja? Kok isinya ada ikan asin satu kilo, cabe rawit tiga biji, jengkol sepuluh biji, permen karet..."

   Lupus langsung merebut dan membacanya. Oh, God! Ternyata dia salah keluarin. Itu catatan belanja yang dititipkan ibunya tadi pagi. Dengan wajah kayak traffic light; merah kuning ijo, dia buru-buru mengantonginya. Diganti secarik kertas yang lain. Yang isinya beneran daftar pertanyaan.

   "Sekarang kamu duduk aja di situ, saya yang nanyain dari sini. Oke?" balas Lupus keki. Evita tertawa lepas. Keakraban baru saja terjadi.

   "Tapi ingat, waktunya nggak lama lho. Saya mau pergi!" .

   Interviu pun berlangsung dengan akrab. Sampai suatu ketika, Evita merasa harus pergi. Dengan sedikit berat, dia pun bangkit. Lupus-