"Kok masih kecil? Wartawan bo'ongan ya? Mana kartu pers kalian?"
"Justru itu, ketinggalan. Tapi kalau tak percaya, boleh deh telepon ke redaksi Hai. .. . "
"Oke deh, saya percaya. Terus kalian mau apa?"
"Wawancara. Boleh, kan?"
"Tapi saya mau pergi. Kalian toh belum bikin janji. "
"Sudah, kok!"
"Kapan? Saya kok belum dikasih tau?"
"Lima menit yang lalu. Tadi lho, waktu pesuruh kamu yang cowok itu dengan noraknya naik-naik ke atas pagar...."
"Ah. Tapi bolehlah kalau kalian memaksa. cuma, sebentar aja, ya? Yuk masuk!"
Dengan langkah ringan, Lupus dan Aji berjalan masuk.
Di ruang tamu, suasananya cukup membuat keduanya terkesima. Satu set mewah kursi tamu besar warna biru, dengan karpet yang bagai rumput manila terhampar megah. Dipadukan dengan hiasan-hiasan dinding yang serba biru, menyejukkan suasana. Sementara foto close-up Evita Fanny terpampang megah di dinding sebelah kiri. Di atas barang-barang antik yang disusun rapi. Dari dalam mengalun lembut musik instrumentalia yang kebetulan Lupus kenai judulnya, Cantabile. Lagu yang menarik, dan Lupus dulu sering mendengar ayahnya memainkan lagu itu lewat gitar klasiknya.
Nggak nyangka, selera musik Evita boleh juga. Padahal kalau dibandingkan dengan lagulagu yang sering dibawakannya yang berlirik dan bernada amat cengeng itu, wah, kontras sekali. Lupus serasa memasuki ruang istana.
"Ayo, silakan duduk. Kok pada berdiri begitu?"
Lupus tersentak. Ya, dia tadi lagi ngelamun. Kok ada orang yang begini kaya. Dia jadi ingat sama teman-teman seperjuangannya di kantor. Kayaknya jadi jauuuh sekali. Mereka-mereka itu walau suka ngaku orang kaya, tapi kalau lapar malah pada tiduran di kolong meja. Sambil berharap semoga setelah bangun nanti rasa laparnya hilang. Kan bisa menghemat uang makan. Tapi-