dan langsung tergopoh-gopoh menghampiri si pemanggil.
“Bang Kerpa, tolong siapkan mobil saya. Saya mau ke studio setengah jam lagi. Tolong barang-barang belanjaan tadi pagi diturunin dulu,” sahut si pemanggil yang ternyata Evita itu.
“Baik Nona.”
“O ya, kamu ngapain naik-naik terus ke pagar macam tadi? Pacaran sama babu sebelah, ya?”
“Oh, anu, Nona....itu ada dua pemuda kecil. Ngakunya sih wartawan yang mau wawancara. Tapi nggak ada kartu pers-nya. Ya udah, saya usir saja. Tapi kok ya nekat anak itu!”
“Ya, Nona, dan dua pemuda kecil yang manis-manis itu adalah kami sendiri!” tiba-tiba ada suara sopan menyambung dari belakang Bang Kerpa. Bang Kerpa langsung menoleh kaget!
“Hei, kurang ajar. Bagaimana kamu bisa masuk kemari? Loncat pagar, ya?”
“Bagaimana? Mudah. Siapa yang suruh pintu pagar itu ditinggal tanpa terkunci barusan, sementara anjing kamu itu asyik mengejar-ngejar kucing sampai keluar pekarangan rumah...,” jawab Lupus kalem.
Bang Kerpa langsung kaget, dan cepat-cepat memburu keluar. Memanggil-manggil anjingnya. Meninggalkan Lupus dan Aji berhadapan dengan Evita Fanny.
Lupus tak berkedip. Penyanyi ini memang masih muda. Paling-paling baru sekitar 17 tahun. Wajahnya, bukan main. cakep banget. Dengan bibir yang tipis tapi seksi, mata yang indah bagai kucing, kulit tubuh yang kuning langsat. Wah, emang nggak salah kalau dia jadi artis penyanyi. Dengan penampilan yang serba sempurna untuk seorang gadis remaja, siapa sih yang enggak betah memandangi berjam-jam?
Lupus langsung kasih angka sembilan untuknya.
"Situ siapa?" tanya Evita pelan. Suaranya, wah. Bikin dek-dekan.
"Di sini Lupus dan Aji. Dari majalah remaja. Di situ siapa?" balas Lupus.
"Oo..., kalian wartawan, toh?"
"Iya, hebat ya?"