Pages

Pages-61


menyambit ayam-ayam sialan itu dengan sapu lidi.

   “Lupus, kalau kerja yang betul. ya!” lagilagi terdengar teriakan Tante Neli.

   Dan begitulah. selama ada Tante Neli, hidup di rumah serba nggak bebas. Dia sok ngatur sana-sini. Sampai ibu Lupus juga suka diatur-atur. Bangun harus jam berapa, jangan kemalaman nonton tivi, de el el. lbu Lupus cuma senyum-senyum aja ketika Lulu mengadukan semua kejengkelannya.

   “Tantemu itu bermaksud baik. Dia memang orang yang teliti dan sangat disiplin.”

   Tapi Tante Neli orangnya memang suka panikan juga. Suka ribut-ribut sendiri. Pernah pulang sekolah, Lupus dengan terengah-engah lari-lari masuk ke rumah. langsung ngoceh, “Gila, Iho, tadi di pasar ada yang dikeroyokin orang. Sampai berdarah-darah. Kasihan sekali. Hampir orang sepasar ikut mengeroyoki!”

   Tante Neli langsung berdiri panik. “Siapa? Siapa orangnya? Kasihan betul! Tega, benar-benar nggak berperikemanusiaan orang-orang zaman sekarang ini. Terus bagaimana nasib orang itu? Masih hidup? Siapa, Lupus? Pelajar? Atau pencuri?”

   “Bukan. Tikus.... “ sahut lupus tenang dan langsung masuk kamar.


•••


   Lupus juga paling kesal kalau tante itu mulai membicarakan dirinya saat saudara saudara
yang lain pada kumpul di rumah Lupus. Dia suka membanding-bandingkan Lupus dengan Ridwan.

   “Saya tak bisa mengerti anak itu. Kalau Saudara-saudaranya lagi pada kumpul-kumpul begini, dia pasti tak mau keluar. Kerjanya mendekam di kamar terus. Tak ada sedikit pun rasa hormat atau perhatian pada kita, para sesepuh. Padahal kalau ada apa-apa, kita juga yang nolong. Kalau diajak bicara, suka sem -