Pages

2. Memburu Bintang

   Aji masih berkutet di kamarnya. Bolak-balik mencobai semua bajunya. Yang kuning, hijau, putih... dan semua. Bolak-balik ke kaca. Dan kini, dengan baju kotak-kotak biru, dia seperti tak mengenali siapa yang di kaca. Siapa ya? Pikirnya norak. Soalnya jadi lain. Kece banget! Sementara Lupus yang keki kelamaan menunggu di luar, nggak sabar langsung melongokkan kepalanya ke jendela. Dan terbengong-bengong melihat Aji yang tak berkedip mengagumi dirinya sendiri di kaca.

   “Duileee... muka kayak perabotan lenong gitu aja ngaca terus. Lama bener sih, ditunggui juga!” maki Lupus.

   “Cerewet. Hampir kelar nih. Ngiri ya kalo saya kelihatan kece?”

   “Cepetan deh, kita berangkat. Kan harus ke Hai dulu pinjam tip kecil.”

   Aji mengangguk dan langsung menyambar kameranya. Dia sudah janjian mau diajak Lupus wawancara penyanyi yang baru naik daun. Kece banget. Makanya baik aji maupun Lupus benarbenar menjaga penampilan. Jangan sampai mengecewakan.

   Setelah mengeluarkan pick-upnya yang rada kadaluwarsa, Aji dan Lupus langsung bertolak ke kantor Hai. Menitipkan kartu pengenal pada resepsionis yang kece, dan langsung naik ke lantai tiga. Di sana suasananya masih seperti biasa. Rame. Ada yang asyik senam pagi, ada juga yang lagi terbengong berat nyari inspirasi. Semua anggota komplet, kecuali beberapa orang yang diculik dengan paksa untuk menggarap majalah baru.

   Lupus langsung menuju ke bangkunya. Dan di sana, dia hampir menginjak Tia kecil yang sibuk buka-buka majalah di lantai. Buset, anak ini memang kecil sekali bodinya. Apalagi kalo lagi jongkok begitu, nyaris menghilang di balik tumpukan majalah-majalah. Bapaknya tega juga, masih kecil begitu kok sudah disuruh kerja? Tapi -