Pages

Page-04

kampung. lni gara-gara guru biologi yang menyuruh bawa contoh-contoh tanaman, baju praktek, dan barang-barang lain umuk praktekum biologi siang nanti.

   Bis yang ditunggu muncul. Maka seperti para transmigran lain, Lupus dengan semangat ’45 turut berpartisipasi membudayakan lari pagi dalam rangka mengejar bis kota. Lumayan, Lupus bisa menyusup ke dalam, berdesakan dengan seorang gadis manis berseragam sekolah. Dan ini memang merupakan satu-satunya nikmat yang diberikan Tuhan buat orang-orang seperti Lupus. Hanya pada saat itu Lupus berani menyentuh cewek, mencium bau parfumnya dan sekaligus mengajaknya ngobrol. Siapa tau jodoh


* * *


   Dan tak terlalu aneh memang kalau Lupus pun mempergunakan kesempatan itu. Setelah berlagak tak sengaja nginjek kaki cewek manis itu, Lupus dengan wajah memelas mencoba memulai komunikasi dengannya. Meski kata orang, menjalin komunikasi itu bisa dengan beberapa cara, tetapi rasanya cara inilah yang paling tepat buat Lupus.

   “Eh, maaf, ya. Nggak sengaja. Abis didorong-dorong, sih. Sakit, ya?” ekspresi Lupus benar-benar sempurna menunjukkan rasa penyesalannya. Wah, ada bakat jadi aktor watak dia.

   “Enggak. Enggak sakit. Injek aja terus! ” sahut cewek itu dingin. Lupus kaget. Berkat sandiwaranya yang kurang sempurna, dia sampai Iupa mengangkat kakinya yang menginjak kaki cewek itu.

   “Eh, kamu marah, ya?” Wajah Lupus penuh penyesalan. Kali ini serius.

   Gadis itu tersenyum.

   Oh. God, ini kesempatan baik.

   “Nama kamu siapa?” tanya Lupus lagi setelah beberapa saat saling membisu. Gadis itu sedikit heran mendengar pertanyaan yang rada ‘lain’ itu. Dasar cowok, abis nginjek minta kenalan. Beberapa saat dia cuma memandang Lupus. Lupus jadi serba salah sendiri. Jadi mikir, apa dosa nanya begitu?