Pages

Pages-59


•••

   Besoknya Lupus pulang ketika hari sudah senja. Letih, karena sepulang sekolah langsung menyelesaikan laporan di kantor majalahnya, dia terus menuju kamar tidur. Untung makhluk yang bernama Ridwan itu sudah pulang sejak pagi tadi. “Belum liburan,” katanya. Syukurlah. Setelah mengganti baju sekolahnya. Lupus Iangsung melompat ke tempar tidur. Wah, betapa nikmatnya! Pusing-pusing sedikit yang tadi merongrong di jalan, berangsur-angsur hilang bersama terbangnya dia ke alam mimpi.

   Namun, belum lagi tertidur pulas, dia mendengar suara beduk bertalu-talu. Serasa jauuuh sekali. Lupus setengah sadar setengah tidak, menajamkan pendengarannya. Apa iya sudah magrib? Kok cepat sekali? lni bukan bulan puasa, tapi yang namanya tidur di waktu magrib tetap saja bisa dianggap kualat. Setidaknya, ini kata Wak Haji. Tapi, eh, kok beduknya rada lain bunyinya? Dan rasanya terdengar semakin dekat dan dekat sekali. Lupus terjaga. Ealah, ternyata bukan beduk. Tapi ada orang menggedor-gedor pintu kamarnya. Oh, God! Siapa makhluk yang tak berperikemanusiaan itu? Keluh Lupus yang dengan malas langsung membuka pintunya sedikit. Seperti juga matanya yang terasa berat unruk dibuka.

   Di situ tersembul wajah Tante Neli yang tertekuk. “Kamu ini bagaimana sih? Datang datang langsung tidur. Tak punya kesadaran sama sekali! Lihat ibumu yang sibuk ngurus pesanan masakan para langganan di dapur. Bantu-bantu sedikit, kek! Bungkusin kerupuk atau apa gitu!” semprotnya nggak tanggung tanggung.
   “No way!” sahut Lupus pendek dan langsungmengunci kamarnya. Sesaat kemudian dia sudah asyik tiduran lagi, sambil menutup kepalanya erat-erat dengan bantal. Di luar Tante Neli masih marah-marah dan menggedor-gedor. Tapi Lupus tak peduli. -