yang tajam. Lupus pun, seperti tak terjadi apa-apa, berbisik kepada Anto, “Kamu benar, Nto. Dia bukan hantu. Tapi lihatlah, dia mencoba menakut-nakuti kita dengan sorotan mata seperti itu. Dikira kita takut, ya ....“
Tapi bisikan Lupus cukup jelas terdengar oleh orang itu. Maka dengan sekali gerakan, kerah Lupus pun dicengkeramnya. Anto ketakutan setengah mati.
“Lu pikir gue hantu yang nakut-nakutin lu, ya? Lu mau belagak jagoan di sini? Anak mana lu sampe berani-beranian ngebacot di depan gue!” sahut orang itu kasar, sementara teman-temannya mulai mendekat.
Lupus memberontak, dan melepaskan cengkeraman tadi. Lalu mundur beberapa langkah dengan mata yang masih menatap berandalan tersebut. Anto segera menahannya, dan berkata terpatah-patah, “Ma-maaf, Bang. Kita berdua kemaleman pulang. dan mau numpang lewat sini. Kita nggak bermaksud mau koboi-koboian kok .... “
Berandalan itu meludah ke tanah. Lupus mau ikut-ikutan, tapi tenggorokannya kok ya terasa kering.
“He. lu punya duit nggak?” salah seorang temannya yang dari tadi diam, tak sabaran. Maju beberapa langkah. dan mencengkeram bahu Anto. Lupus yang nggak tegaan, langsung maju hendak menolong Anto. Tapi tangan lain menariknya keras-keras.
“Jangan, Bang. jangan pukul teman saya. Ini saya ada beberapa ribu. Ambil aja, Bang. Cuma itu uang kami!” sahut Anto cepat. Lupus pun didorong sampai jatuh di kaki Anto. Dia mencoba bangkit dan mau membalas. Tapi Anto menahannya, “Kalem. Pus. Mereka banyakan. Nggak ada gunanya melawan .... “
Akhirnya dengan beberapa ribu dan maki-makian kotor, mereka pun membiarkan Lupus dan Anto pergi. Setelah jauh, Anto menghela napas lega.
“Enak amat mereka minta-minta uang? Emangnya jalan nenek moyangnya?” gerutu-