Pages

Pages-40

Lupus! Tapi, tentu saja anak-anak berandalan itu tak mendengar. Wong mereka udah ngacrit.

   “Ya, memang begitu kerjaan mereka. Ngompasin orang-orang yang lewat. Mereka-mereka itu sebenarnya tinggal nggak jauh dari rumah saya. Saya kenal sama yang tadi dorong kamu. Si jalil. Tapi memang saya nggak pernah main sama mereka. Ngapain! Kerjaannya        saban malem nongkrong di jalanan. Godain orang yang lewat, atau sengaja cari gara-gara. Untung aja kamu nggak jadi ngelawan. Pus. Kalau mereka marah, habislah kita .... “

   “Eeeee... emangnya saya berani?”


•••


   Sore berikutnya Lupus masih di rumah Anto. Seharian mendekam di kamar sama Anto. Anto ini memang jarang ke luar rumah. Kerjanya cuma pasang kaset atau dengar radio seharian. Semua acara radio dari berbagai radio swasta, dia hafal. Sampai laporan ekonomi tentang harga pasaran bawang putih, bawang merah, bengkuang, kunyit, dan sejenisnya itu didengar dengan khusyuk sekali. Mau jualan apa?

   Lupus yang tak ada kerjaan cuma menemani sambil membaca beberapa buku.

   “Nto, saya pulangnya diundur besok aja, ya. Malam ini, saya mau ke markas para berandal yang tadi malam itu. Markasnya di dekat pos yang kemarin kamu bilang, kan?”

   Anto terkejut. “Gila. Ngapain ke sana? Mau cari penyakit? Lupakan uang kita yang amblas, Pus. Itu jalan yang terbaik. Nggak usah dipikirin terus. Dan jangan berlagak kaya jagoan. Di kandangnya, mereka lebih berbahaya lagi. Oh, Tuhan, lupakan pikiran gila itu, Pus. Nggak usah balas dendam. Ini kan bukan zamannya film koboi .... Lupakanlah!”

   Lupus memang bukan tipe orang yang suka filsuf-filsufan dalam berbicara. Dia lebih condong pada orang yang berbicara-