Pages

Page-34

   juga. Begitu lewat Blok A, kondektur itu mulai menghampiri Lupus.

   “Dik, turun di mana?”

   “Cilandak! Kenapa?”

   ”Ya, gimana, ya. Kita mau langsung pulang nih. Pindah bis belakang aja, ya? lni ongkosnya saya kembaliin!”

   ”Tapi...”

  “Ayo, cepatlah. Masa saya harus ke Pondok Labu dengan satu penumpang saja?”

   Lupus tetap protes. Masalahnya di luar masih hujan deras. Tapi apa boleh buat, kondektur itu cukup besar juga badannya. Terpaksa Lupus diturunkan di pinggir jalan. Dengan dongkol yang meluap-luap dia melompat turun. Tapi, ya, Tuhan, di daerah situ sama sekali tak ada tempat berteduh. Mana hujan masih deras. Walhasil, dengan keadaan basah kuyup, dia berlarian menelusuri malam. Sampai menemukan pemberhentian bis. Dan ketika sebuah metro melintas, Lupus melompat ke dalamnya.

   Kini keadaannya tidak lebih dari tikus yang baru kejebur got. Basah kuyup. Rambutnya yang tadinya keren, kini mlepek. Bisa dibayangkan, betapa dongkolnya dia. Bagaimana bisa datang ke rumah Poppi dengan keadaan basah kuyup begini? Betapa memalukan. Dan apa kata orang tuanya nanti?

   Kini dia pun dilanda dilema. Tetap datang atau balik ke rumah. Kalau balik ke rumah. tak bisa dibayangkan, betapa terpingkal- pingkalnya Lulu melihat rambut Lupus yang kini benar-benar basah, bukan hanya efek basahnya saja. Ah, itu tidak boleh terjadi. Lagi pula sudah kepalang tanggung, rumah Poppi sudah beberapa kilometer lagi.

••• 

   Sesampainya di Cilandak, hujan masih turun. Lupus cuma berjalan lemas ke tempat pemberhentian bis, dan menyandar lemas pada tiang penyangga. Benar-benar don’t know what to do. Tak ada gairah lagi untuk-