Sekarang ini, dia lagi asyik duduk di pojokan sambil makan permen karet dalam bis
Patas yang ditumpanginya. Khusus untuk
acara-acara bersejarah seperti malam minggu
ini, Lupus memang mengistimewakannya
dengan menumpang bis Patas, bukan bis biasa. Alasannya, di samping lebih leluasa duduk, parfum dan rambutnya nggak berantakan
berbaur oleh penumpang-penumpang lain.
Dan kini, masih mengunyah permen
karet, dia lagi asyik ngebayangin Poppi yang
bakal terkagum-kagum melihat penampilannya yang rada lain. Terutama rambutnya. Padahal bapak-bapak yang duduk di
sebelahnya sempat geleng-geleng kepala melihat rambut Lupus yang menurutnya seperti
tak disisir selama berminggu-minggu.
Sementara bis Patasnya masih melesat
menembus udara malam yang kian dingin. Di
luar memang berhembus angin kencang.
Lupus sempat memaki-maki ketika dia membuka jendela, dan diserang oleh angin sialan
yang mengacak-acak rambutnya.
”Kenapa, Nak, kok marah-marah?” tanya
Bapak-bapak di sebelahnya.
“Eh, enggak kok. Anu, anginnya kencang
sekali. Bikin rambut kusut saja...,” jawab
Lupus sambil nyengir.
“Bikin kusut?”
”Iya, kok Bapak heran?”
“Lho, tadi bukannya lebih kusut lagi?”
tanya bapak itu lagi.
Lupus nyengir, dan membuang pandangan ke luar jendela. Tapi, ya amplop! Di luar
turun hujan. Rintik-rintik. Dan itu tak menjadi
soal benar kalau tidak disusul oleh hujan deras. Bagaimana saya bisa turun tanpa kehujanan?
Dan ketika bis itu melewati pasar Blok M,
Lupus cemas total. Semua penumpang pada
turun, kecuali Lupus. Dan biasanya kondektur
suka seenaknya menurunkan penumpang
kalau tinggal sendirian. Lupus sibuk komat-
kamit di pojokan. Baca mantera biar ngusir
pikiran jahat sang kondektur. Tapi, benar-