Pages

Page-33

   Sekarang ini, dia lagi asyik duduk di pojokan sambil makan permen karet dalam bis Patas yang ditumpanginya. Khusus untuk acara-acara bersejarah seperti malam minggu ini, Lupus memang mengistimewakannya dengan menumpang bis Patas, bukan bis biasa. Alasannya, di samping lebih leluasa duduk, parfum dan rambutnya nggak berantakan berbaur oleh penumpang-penumpang lain.

   Dan kini, masih mengunyah permen karet, dia lagi asyik ngebayangin Poppi yang bakal terkagum-kagum melihat penampilannya yang rada lain. Terutama rambutnya. Padahal bapak-bapak yang duduk di sebelahnya sempat geleng-geleng kepala melihat rambut Lupus yang menurutnya seperti tak disisir selama berminggu-minggu.

   Sementara bis Patasnya masih melesat menembus udara malam yang kian dingin. Di luar memang berhembus angin kencang. Lupus sempat memaki-maki ketika dia membuka jendela, dan diserang oleh angin sialan yang mengacak-acak rambutnya.

   ”Kenapa, Nak, kok marah-marah?” tanya Bapak-bapak di sebelahnya.

   “Eh, enggak kok. Anu, anginnya kencang sekali. Bikin rambut kusut saja...,” jawab Lupus sambil nyengir.

   “Bikin kusut?”

   ”Iya, kok Bapak heran?”

   “Lho, tadi bukannya lebih kusut lagi?” tanya bapak itu lagi.

   Lupus nyengir, dan membuang pandangan ke luar jendela. Tapi, ya amplop! Di luar turun hujan. Rintik-rintik. Dan itu tak menjadi soal benar kalau tidak disusul oleh hujan deras. Bagaimana saya bisa turun tanpa kehujanan?

   Dan ketika bis itu melewati pasar Blok M, Lupus cemas total. Semua penumpang pada turun, kecuali Lupus. Dan biasanya kondektur suka seenaknya menurunkan penumpang kalau tinggal sendirian. Lupus sibuk komat- kamit di pojokan. Baca mantera biar ngusir pikiran jahat sang kondektur. Tapi, benar-