“Itulah, Pak. Kalau rambut saya dipotong seperti anak lainnya, nanti Bapak malah sulit mengenali. Apalagi wajah saya begini pasaran. Bapak kenal Ridwan, Andi, atau Roni itu? Kami berempat sering dikira anak kembar. Padahal kan tidak. Saudara juga bukan. Hanya nenek mereka dengan nenek saya saja yang memang sama-sama nenek-nenek .... “
Pak Kep-Sek itu cuma menganguk-angguk. Mungkin kurang kopi dengan pembicaraan Lupus yang kacau. Tapi itu memang tak-tik Lupus. Kalau dia berhasil lolos razia kali ini, berarti paling tidak selama tiga bulan berikutnya tak akan ada razia lagi. Karena beliau-beliau juga anget-angetan aja bikin kegiatan gila-gilaan seperti ini. Lupus jelas merasa beruntung, karena dia amat segan memotong pendek rambutnya. Nantinya nggak kece lagi, katanya. Soal kalau nanti ada razia lagi, itu bisa dipikirkan nanti.
“Bagaimana, Pak? Saya bisa keluar sekarang? Saya juga akan tetap berusaha mengangkat nama Sekolah kita tercinta ini,& Pak. SMA Merah Putih!” sahut Lupus mantap, sambil mengulurkan tangannya (dikata layangan apa?). Pak Kep-Sek pun menyambut uluran tangan itu.
“Selamat buat Anda. Berkaryalah terus mumpung masih muda!”
Lupus mengangguk hormat. Lalu melangkah mantap ke luar kantor Kep-Sek. Tiba-tiba dia teringat pada tasnya yang tadi dilempar ke luar jendela. Jangan-jangan masuk ke got?
* * *