Pages

Page-28

   “Anu. Pak. Saya mau minta maaf atas kesalahan saya. Sungguh mati, Pak, saya sangat menyesali tindakan saya yang di luar kontrol itu. Bapak kan tahu bahwa kadang-kadang manusia memang suka bertindak di luar kontrol. Tapi di samping itu, saya juga mau memberi tahu bahwa laporan kegiatan amal di sekolah kita tercinta ini sudah dimuat di majalah Hai, Pak,” sahut Lupus pelan.

   “Oh, jadi kamu toh yang menulisnya?”

   Lupus mengangguk cepat. Wajah Kep-Sek berubah menjadi agak ramah.

   “Ya... ya, saya sudah baca tadi pagi. Anak saya kan langganan majalah... apa tadi namanya? Hai, ya, majalah Hai. Saya suka kepada murid yang bangga akan sekolahnya sendiri seperti kamu. Boleh diteruskan bakat seperti itu. Oya, siapa nama kamu tadi?”

   “Lupus.”

   “Ya. Lupus. Saya sudah sering membaca tulisanmu, tapi baru kali ini ketemu orangnya. Kamu yang sering menulis laporan ilmu pengetahuan dari sekolah-sekolah lain, kan?” Lupus agak terkejut. Apa iya dia sering nulis begituan? lni aja baru sekali-kalinya. Tapi toh ia buru-buru mengangguk sambil tersenyum hormat.

   “Saya memang sudah terlalu tua,” lanjut Kep-Sek. “Sudah sangat sulit mengenali anak-anak seusiamu. Apalagi zaman sekarang ini, rata-rata wajah mereka hampir sama semua. Padahal kalau saya mudah mengenali kamu, lebih enak lagi. Saya bisa dengan mudah menghubungi kamu kalau sewaktu-waktu kita bikin kegiatan lain yang patut diketengahkan di media kamu.”

   “Tapi, Bapak kan mudah saja mengenali saya?” jawab Lupus bersemangat.

   ”Oya? Bagaimana caranya?” “’Lihat saja, Pak. Rambut saya unik. Tidak seperti anak lain yang dipotong pendek. lni kan bisa menjadi ciri khas yang mudah dikenali. Bahkan dari jarak jauh sekalipun .... “

   Kep-Sek membetulkan letak kaca matanya. Dahinya berkerut. -