Pages

Page-27

razia rambut...,” sahut Lupus nekat melempar tasnya ke luar. Tetapi begitu dia menclok di jendela, sang guru tiba-tiba membalikkan tubuh. Matanya langsung tertuju pada figur Lupus yang bak maling lagi beroperasi. Kalau lagi terdesak, anak ini memang suka nekat.

   Tak pelak lagi, Lupus langsung diseret ke depan kelas untuk diinterogasi.

   “Anu, Pak, saya sakit perut yang tak tertahankan. Daripada kecolongan di kelas...” sahut Lupus membela diri. Tapi tampang marah guru gambar itu tak bisa terhapus dengan alasan yang sesederhana dan tanpa pemikiran yang matang itu.

   “Saya tak mau dengar alasan macam-macam. Ini jelas penghinaan berat yang Anda tujukan kepada saya. Sekarang juga, ikut saya ke kantor Kepala Sekolah!” hardiknya. Lupus tak bisa berbuat apa-apa. Dia memang mengaku salah. Tapi situasi ini justru menyelamatkannya. Pada saat yang bersamaan, dua orang guru menyerbu ke dalam kelas sambil membawa gunting.

   “Semua pria yang berambut panjang, harap diam di tempat. Akan diadakan pengguntingan rambut gratis. Tinggal sebut mau model apa. Lumayan, kan daripada pergi ke salon?” sahut beliau-beliau itu mencoba melucu. Tapi bahkan Robert pun, yang doyan tertawa, tak tertawa. Dan saat itu Lupus sudah diboyong ke kantor Kep-Sek.


• • •


   Lupus memasuki ruangan yang hening itu. Sementara sang Kep-Sek, figur yang selalu ditakuti dan disegani murid-murid, duduk tenang sambil menekuni buku yang ada di depannya. Guru gambar yang tadi mengantar dan menyampaikan prolog serta maksud dan tujuan membawa Lupus ke kantor itu, telah ke luar ruangan. Hu. Pengaduan! maki Lupus dalam hati.

   “Kamu tau kenapa kamu dibawa kemari?” sahut Pak Kep-Sek tenang-