Pages

Page-26

nemukan sesuatu yang menarik yang bisa ditulis dari kegiatan itu, tapi karena paksaan dan rasa tak enak dari teman dan gurunya, lupus pun menuliskan. Untung hasilnya tak begitu mengecewakan.


• • •


   Jam istirahat pertama hampir tiba, ketika terdengar ada suara ribut-ribut di luar. Lupus melongokkan kepalanya lewat jendela. Memanggil salah seorang anak yang lewat di dekat jendela kelasnya.

   “Sst! Ada apa sih?” naluri kewartawanannya selalu timbul kalau mendengar ada ribut-ribut.

   “Gawat tuh, ada razia rambut gondrong!” jawab anak itu terburu-buru.

   “Razia rambut?” Lupus terkejut. Memang tak ada hal lain yang paling bikin dia sebel, selain razia rambut. Di mana guru-guru datang menggebrak kelas yang tadinya tentram dan damai dengan membawa gunting. Persis tekab yang menggebrak sarang perjudian. Kemudian dengan seenaknya, beliau-beliau itu mengguntingi rambut-rambut yang panjang melewati kerah dan menutupi telinga. Padahal anak-anak sudah mengubah taktik dengan hanya memanjangkan rambut bagian depannya saja. Seperti yang sekarang lagi mode itu. Tapi tetap saja kena razia.

   Lupus yang rambutnya panjang baik di depan maupun di belakang, jelas jadi sibuk sendiri. Dia buru-buru mengemasi buku-bukunya.

   ”Mau ke mana kamu, Lupus?” tanya Heru yang duduk di sebelahnya.

   “Kabur!” jawab Lupus seenaknya, sambil matanya tetap mengawasi guru gambar yang membelakangi murid-murid.

   ”Kabur? Maksud kamu lewat jendela?” tanya Heru curiga.

   “Iya. Apa kamu pikir saya mau minta izin dulu sama guru itu, lalu baru kabur? Begitu? Don’t be a fool, friend. Lebih baik kamu awasi guru itu, ya? Soalnya bahaya nih, ada-