Pages

Page-25

rahasia negara kita. Ya, Tuhan, nanti bukannya mengorek keterangan dari musuh, malah keceplosan ngebocorin rahasia negara. Dari sekarang dibilangin aja, buat kamu yang demen gosip. jangan jadi agen rahasia, deh. Bukan apa-apa, kurang begitu cocok aja dengan profesi dan hobi yang telah kamu tanam sejak keeil.

   Sementara, udara pagi ini masih segar. Sesegar wajah Suli, cewek manis berambut panjang yang berlari-lari ke arah Lupus.

   “Hei, Anak kecil. mau ke mana? Kok buru-buru?” goda Lupus. Anak itu cuma mencibir.

   “Eh, Lupus. Telepon umum di depan sana jalan nggak?” tanyanya di sela napas yang terengah-engah.

   “Enggak tuh!” jawab Lupus jujur.

   ”Yaaaa...” wajah Suli jadi berubah kebingungan. Dia berbalik hendak kembali ke kelasnya. Tapi Lupus segera menahannya.

   “Eh, Suli, kalau mau telepon, pake aja. Kok nggak jadi?”

   “Lho, katanya nggak jalan?”

   “lya memang. Telepon kan nggak bisa jalan. Kalau misalnya bisa jalan-jalan, ya repot dong. Kamu malah nggak bisa pakai. Nanti main kejar-kejaran.”

   “Sial!” Suli kembali berlari ke arah telepon yang di depan sana. Meninggalkan Lupus yang masih asyik mengulum permen karetnya.

   Dan begitu Lupus memasuki kelasnya, Budi sang ketua kelas sudah menyambutnya, “Hei, Lupus! Hebat kamu. Saya udah baca majalah kamu yang terbaru yang memuat tentang kegiatan di sekolah kita. Begitu, dong. kita harus bangga-banggain sekolah kita juga!”

   Lupus cuma nyengir dan mengambil tempat duduk paling belakang. Teman-temannya memang sudah pada tau kalau Lupus itu sering menulis di majalah Hai. Dan baru-baru ini dia memang dipaksa teman-teman dan gurunya untuk menulis tentang kegiatan amal di sekolahnya. Lupus sama sekali tak bisa me-