Pages

Page-21

   Akhirnya bel tanda sekolah usai berdentang. Anak-anak seperti tersengat. Semangat hidup yang hampir sirna tadi, kini kembali. Guru bahasa yang tadinya mau meneruskan beberapa bab yang tersisa (masih beberapa bab kok dibilang sisa?), tak bisa berbuat apa-apa ketika anak-anak serempak berteriak, “S’lamat siiiang. Bu Guruuuu...!!”

   Itulah anak SMA. Masuk sekolah pagi-pagi cuma mau nungguin bel pulang di siang hari. Makanya Boim yang belagu itu pernah berfilsafat (dalam hal ini, dia jelas ingin menonjolkan kemampuannya berbahasa lnggris), ”You know, my friends, school is just a place to rest between week-ends!” Dan dia dengan bangganya tidak mengetahui bahwa semua temannya pernah membaca kata-kata itu di toko baju.

   “Hei, Kucing! Kok bengong aja? Mau ikut pulang?” tiba-tiba suara cempreng menyapa Lupus yang lagi bengong di pintu gerbang. Lupus melotot dipanggil ’kucing’ begitu. Siapa lagi kalau bukan si Boim. Dia memang lebih senang memanggil kucing daripada ‘Pus... Pus...’ begitu. Kan sama aja, katanya.

   “Hayo, nungguin Poppi, ya? Saya dengar kamu ada main sama dia. Hu... kuno! Poppi sih udah bekas saya. Udah abis deh saya kerjain,” sambung Boim lagi. Lupus hanya mendengus, lalu berjalan menelusuri trotoar.

   “Ayolah, pulang saja. Kamu ke Grogol, kan? Ikut saya aja. Saya juga mau ke sono. Biasa, ada mangsa baru. Yuk?” Boim menarik Lupus untuk ikutan di motomya yang butut.

   Tiba-tiba Poppi berlari mendekat. Lupus melepaskan cengkeraman tangan Boim. “Halo, Lupus. Sori, ya, kita nggak bisa pulang bareng. Saya dijemput sih. Mau langsung les .... “

   Lupus mengangguk, lalu menoleh pada Boim.

   “Saya ikut kamu!” Boim ngakak.

   Di perjalanan, Boim banyak cerita tentang pengalamannya. Lupus cuma jadi pendengar setia saja. Tanpa komentar apa-apa. Apanya-