maksakan remaja-remaja untuk menyukai musik yang bukan gejolak jiwa mereka. Dan anehnya, kok para remaja yang dicekoki ya mau saja. Itu yang ditulis Lupus. Tapi terus terang, dia sendiri pada awalnya tak yakin bahwa tulisannya itu bagus. Bakal dapat pujian. Bayangkan saja, jika seorang yang sama sekali tak tau musik jazz disuruh menulis tentang jazz. Apa yang bisa ditulis?
Tapi Lupus cukup pintar untuk memetik sesuatu yang berharga dari pengalamannya. Bahwa sesuatu yang kelihatan remeh, yang kadang tak terlihat di mata orang, bisa menjadi sangat menarik. Tinggal kepekaan kita untuk menangkap ’sesuatu’ itu. Dan ini yang menjadi modal Lupus untuk tetap menulis. Tulisannya memang tak akan mempengaruhi apa-apa. tetapi bisa merupakan sumbangan kepada remaja pembacanya untuk membuka cakrawala pemikiran mereka lebih luas lagi.
Telepon berdering. Lupus dipanggil. Ada orang yang ingin bicara dengannya. Lupus pun menerima.
“Halo, kami dari panitia jazz Open Air kemarin. Terima kasih untuk artikel yang Anda buat. Itu lebih berharga bagi kami, daripada apa yang kebanyakan orang ketengahkan di majalah lain, untuk koreksi diri. Anda benar, kita tak bisa memaksakan selera remaja. Lain kali kita akan adakan acara serupa, tetapi lebih disesuaikan dengan selera remaja. Anda bisa kasih pandangan? Oya, bulan depan ada acara jazz lagi di TIM. Anda mau datang? Kalau mau, akan kami kirim undangannya .... ”
Lupus terdiam. -Nonton jazz lagi? Oh. God, kali ini apalagi yang bisa saya tulis?-