Pages

Page-15

   Sementara cowok yang di sebelah Lupus ikutan ngomong juga,

   ”Eh, ngomong-ngomong dari tadi lagu yang dimainin tuh ganti-ganti atau yang itu - itu terus?”

   Lupus kaget juga ditanya begitu. Untung cowok itu nggak tau kalau Lupus itu wartawan musik.

   “Nggak tau. Lho, kamu tadi sama temen - temen kamu pada goyang-goyang kepala. Dikirain tau lagunya...?“ Lupus balik bertanya.

   “Tau? Boro-boro, suka aja nggak!!”

   ”Ha? jadi ngapain dong kamu manggut - manggut kaya tadi begitu?”

   “Ya... ikut-ikutan yang lain aja. Kita berani taruhan kalau mereka juga nggak ngerti musik apa yang dimainin barusan. Mereka cuma biar kelihatan aksi aja. Lucunya, ada yang sok bawa pacarnya ke sini. Bela-belain bayar uang masuk cuma supaya pacamya mengira dia punya selera musik yang tinggi. Tapi itu udah wajar kok. Maklum deh, namanya aja remaja .... “

   “Iya, betul tuh. Saya juga nyadarin kok. Dateng ke sini cuma ikut-ikutan temen aja,” temen sebelahnya mendukung.

   Lupus tambah mikir. Jadi, apa yang mereka cari dengan nonton beginian? Dikirain dia doang yang nggak ngerti musik yang disuguhin. Nggak taunya semua sama saja! Pantesan tepuk tangan penonton seperti diatur. Kalau ada seorang yang tepuk tangan, yang lainnya pada ikutan. Lucunya ada yang menoleh dulu ke teman sebelahnya, baru ikutan tepuk tangan.

   “Kalau yang disuguhin jazz ringan kaya lagu-lagunya Whitney Houston atau Michael Frank sih boleh-boleh aja. Saya suka. Tapi ini sih, yang main musik asyik sendiri. Dengan improvisasi-improvisasi. Sedang yang nonton malah komat-kamit berdoa supaya lagunya cepet habis. berharap supaya lagu berikutnya lebih enak didengar. Syukur-syukur kalau kenal lagunya. Jadi kayanya para pemusik itu-