Pages

Page-14

   Masalahnya, tadi dia sempat keki ketika baru datang, dan hendak naik ke panggung untuk memotret close-up sang penyanyi, seorang petugas menghardiknya keras, “Hei, Anak kecil! Ngapain naik-naik ke situ? Nakal, ya. Ayo turun!!”

   Lupus keki banget dibilang anak kecil. Wah, tu orang nggak tau kalau saya wartawan! gerutu lupus. Dan dia menjadi keki kuadrat ketika seorang pemuda yang mengenakan tanda pengenal panitia menyuruhnya menjauh dari tempat artis-artis jazz. Dikira mau minta tanda tangan apa?

   Makanya, sekarang ini dia lebih suka duduk dengan manis di rumpul seperti remaja lainnya. Tanpa bisa menikmati suguhan musik yang digelar. Dia merasa bodoh sekali. Wartawan kok gitu? Dan dia bingung. apa yang harus dia tulis dalam artikelnya nanti. Lupus semula agak menolak juga ketika Mas Wendo —sang pemred majalah Hai— menyuruhnya meliput berita jazz Open Air ini. Masalahnya dia nggak ngerti dan kurang suka jazz. Tapi daripada menolak, ya coba-coba aja. deh!

   Dan sekarang dia benar-benar suntuk. Bukannya nyesel nonton ginian, tapi nggak nyangka bakal ngerusak telinga begini. Tiba - tiba seorang cewek yang duduk di sebelah mengeluh. Saat itu musik lagi break, jadi suasana kembali tenang. Banyak penonton lain yang duduk dekat loudspeaker seperti Lupus, bernapas lega sambil meyakinkan bahwa kupingnya belum budek.

   “Aduh, saya pingin pipis. Gimana ya, cara keluar dari sini?” kata cewek itu. Lupus yang lagi asyik bengong nyeletuk, “Pipis di sini aja. Banyak rumput kok .... “

   “Ogah ah. Takut nge-top!” cewek itu nyengir.

   “Takut nge-top apa takut dilihat saya?” tantang Lupus.

   “Apa iya kamu mau lihat? Kalau bener saya bela-belain nih!” jawab cewek itu lagi. Gantian Lupus yang nyengir.