Pulang sekolah tanpa diduga, Lupus menunggu di dekat mobil. Diam memandangi daun-daun yang terbang tertiup angin. Poppi memandang heran ke arahnya. Kadar kemarahannya sudah berkurang sedikit.
“Kamu mau apa?” sahutnya ketus ketika sampai di depan Lupus. Lupus kaget dan menoleh.
“Saya...”
“Sudah ketemu alasan yang pas untuk membela diri?”
“BeIum. Saya justru lagi nyari. Kamu ada ide? Soalnya saya nggak bakat ngebohong...” sahut. Lupus sedih.
Dengan dongkol Poppi mendorong tubuh Lupus yang menghalangi pintu mobilnya, lalu segera membuka pintu tanpa menoleh.
“Tunggu, kamu nggak adil memperlakukan saya dengan kasar begitu. Saya kan nggak pernah berbuat kasar sama kamu .... ”
“Apa? Saya nggak adil? Dan bagaimana dengan kamu yang seenaknva mengingkari janji waktu kemarin itu ?” bantah Poppi ketus. “Alasan apa lagi yang mau kamu katakan sekarang?”
“Justru itu yang mau saya bicarakan. Saya nggak punya alasan apa-apa. Makanya saya baru mau ngomong setelah nggak ada teman - teman lain. Saya malu sekali. Kamu jangan mengira saya nggak sedih batal pergi sama kamu. Kamu harus mengerti saya. Maafkan kecerobohan saya .... ”
“Ini lebih dari sekadar ceroboh. Ini soal tanggung jawab!” teriak Poppi. “Kamu egois! Pengecut!”
Meledaklah amarah Poppi. Lupus semakin terpojok. Matanya menatap kosong ke depan. Dan sampai sepuluh menit berikutnya, Poppi terus berkicau dengan kecepatan suara yang sukar diukur dengan stop-watch sekalipun. Sampai akhirnya, dia kecapekan sendiri. Menatap Lupus yang sama sekali tidak bereaksi.
“Nah, sekarang terus terang aja. Kenapa kamu nggak datang kemarin sore? Nggak-