Kilik kuping, ya?” Ianjutnya kalem. Poppi hanya melotot padanva, diiringi tawa teman - teman yang lain. Tapi Lupus memang tak salah. Dia benar-benar nggak tau kalau yang Poppi maksudkan itu bukan sekadar sehelai bulu ayam, melainkan kemoceng.
Poppi sering geli sendiri jika ingat kejadian itu. Dan entah kenapa, dia jadi suka membayangkan Lupus. Anak itu polos, jarang lho bisa ketemu cowok polos begitu di Jakarta ini.
“Hei, Perawan!” teriakan keras dari jalanan mengagetkan Poppi dari lamunannya. Tanpa dia sadari, sekelompok anak muda tengah ramai menertawakannya dari belik pagar. Poppi langsung melirik ke jam tangannya. Sudah lewat magrib. Dia pun dengan cepat masuk ke dalam. langsung ke kamar dan menuliskan kalimat I hate Lupus seratus kali di buku hariannya dengan tinta merah. Setelah itu, dia merasa matanya mulai basah
....
•••
Apa pun alasannva, Poppi sudah tak mau dengar lagi. Pasti lagu lama yang bakal keluar dari mulut Lupus yang brengsek itu. Putusannya sudah bulat, Poppi tak sudi berbicara dengannya lagi. Sakit hatinya diperlakukan begitu. Kalau untuk pertama kali saja Lupus sudah berani mengingkari janji begini, bagaimana untuk seterusnya?
Dan ketika Lupus melewati tempat duduknya, Poppi melengos. Persis lembu. Sedang Lupus dengan sikap yang biasa langsung menuju bangkunya. Menarik-narik rambut Utari yang panjang untuk minta salinan pe-er.
Sampai keluar main kedua, Lupus tetap tidak datang minta maaf pada Poppi. Keterlaluan, pikirnya. Padahal dia sudah dari jam setengah delapan pagi siap pasang muka bertekuk. Siap untuk bersikap sedingin biang es. Tapi Lupus tetap tak datang. Malah asyik ngocol soal Queen sama Meta.