Pages

8. Kantin Sekolah


   Tau nggak, di SMA-nya Lupus cuma ada satu kantin. Terletak di ujung lapangan dan terlindung di balik pohon-pohon yang rindang. Tempat yang sangat strategis untuk ngeceng anak-anak yang berolahraga di lapangan, membolos pelajaran, numpang nggosip atau benar-benar mau makan (asal jangan nembak!). Hampir semua anak menyukai tempat itu, kecuali Lupus dan beberapa teman cowoknya. Dia jauh lebih suka meloncati pagar untuk jajan di luaran, daripada pergi ke kantin sekolah. Banyak hal yang memaksa Lupus berbuat begitu, meski risikonya kalau ketauan ke luar lingkungan sekolah pada saat jam-jam belajar, bisa disuruh membersihkan kamar mandi dan WC. Sebuah kerja paksa yang paling dibenci semua murid karena dirasakan tanpa kemanusiaan. (Bayangkan saja kalau kamu disuruh membersihkan tempat di mana orang-orang justru membuang sesuatu yang paling kotor. Ih!)

   Alasan pertama kenapa Lupus tak menyukai kantin rersebut, karena di sana sama sekali tidak dijual permen karet. Dan tega sekali, tuh! Padahal Lupus punya prinsip, lebih baik makan permen karet daripada tidak makan permen karet. Nah, itulah. Suatu ketika, Lupus pernah meminta ibu kantin yang janda itu untuk juga menjual permen karet barang satu stoples. Tapi usul itu ditolak mentah-mentah. Katanya bikin kotor. Karena ampas permen karet tidak dapat ditelan dan bisa mengotori dinding.

   Alasan kedua, pelayanan di kantin ini sama sekali tidak efektif. Terutama untuk makanan-makanan primer seperti mie ayam, mie bakso, atau yang lainnya yang perlu dimasak dulu. Kalau mau pesan mie ayam sekarang, bisa-bisa besok pagi baru jadi. Kan agak lama juga tuh. Dan kita rada kurang sabar nungguinnya. Bagaimana tidak lama kalau setelah diselidiki ternyata yang punya kantin baru mengejar-ngejar ayam tetangga yang lagi bengong. Itu juga belum tentu-