Pages

Pages*43

arsitektur amatiran. Makanya Lupus nggak mau gambarnya basah.

   "Halo, Pus, nggak pulang?" tiba-tiba si Boim hadir di depannya. Lupus menggeleng.

   "Kenapa? Takut kehujanan? Hu... sama aer aja takut. Kalau mau jadi seorang yang penuh kharisma kayak saya ini, hal-hal sepele begini tak akan menjadi halangan. Apa kamu takut kalau kehujanan nanti rambut kamu jadi basah? Nggak bisa nge-duran-duran kayak gitu lagi? Itulah, kalau ketampanan yang kauperoleh bukan ketampanan alami kayak saya. Biar kebasahan, rambut kucluk begini, tetap aja kece. Iya nggak? Lihat, saya berani menentang badai sekalipun!" sahut Boim sambil dengan mantap berjalan ke arah hujan.

   ".:..Dan kau tau, Pus," tambah Boim lagi, “Boim sebagai playboy paling top sejagat tau betul bagaimana cara menarik perhatian cewek. kamu lihat Svida yang berteduh dekat warung nasi di sana itu? Nah, ini saat yang tepat untuk mengalahkan hatinya yang sekeras karang. Sebab sebenarnya di dalam tasku ada payung. Nah, kamu nggak nyangka, kan? Tapi, biarlah saya tidak pakai payung itu. Saya akan khusus membawakan untuk Svida. Dia pasti terharu sekali melihat pengorbanan saya. Basah-basahan demi membela dia supaya enggak kehujanan.

   "Dan kamu tau, Pus," kali ini bicaranya jadi mendadak pelan, Sambil mendekatkan moncongnya ke telinga Lupus. Buset baunya!

   Dipandangnya Lupus lekat-lekat. "Seorang cewek biasanya berprinsip lebih baik pacaran dengan cowok yang mencintainya, walau ia sendiri sebenarnya tidak mencintai cowok itu. Dan cowok, lebih baik mencintai cewek yang ia cintai, kalau cewek itu tidak mencintainya. Nah, prinsip itu yang saya terapkan saat ini. Sebagai konsep ke-playboy-an saya. That's true. That's love! Kamu setuju pada pendapat itu?"

   "Setuju,” sahut Lupus mantap. "Saya juga lebih baik pacaran dengan cewek yang saya cintai, walau cewek itu mencintai saya mati-matian!"

   Boim manggut-manggut. Lalu dengan langkah bak panglima perang, dia berjalan menerjang hujan, menuju sang ratu Svida berte-