Pages

Pages*38

   Besoknya, Lupus belum mau ke dokter. Dia masih berharap rasa sakitnya akan hilang sendiri.

   "Kan sesuatu itu nggak ada yang abadi...," kilahnya. Tapi sampai sepulang sekolah, penyakit itu masih betah mengidap di giginya yang kecilkecil.

   "Mungkin kamu jarang sikat gigi...,” cetus Boim kala mereka barengan pulang sekolah.

   "Enak aja nuduh! Kamu barangkali yang kayak gitu...!" sahut Lupus kesal.

   Di rumah, Lulu juga berbaik hati menghiburnya. Coba-coba cerita yang lucu-lucu. Tapi Lupus nggak ketawa sedikit pun.

   "Jangan coba-coba ngelucu ya, di kala orang lain kesusahan! Nggak bakalan sukses!" bentak Lupus sewot.

   "Siapa bilang? Kamu aja yang nggak punya sense of humor yang tinggi. Khadafi aja waktu negaranya dibom Amerika sempet ngelawak juga. Nggak kayak kamu, baru sakit segitu aja bingungnya kayak orang kebakaran jenggot...."

   Lupus mengernyitkan alisnya. "Kok kamu tau? Baca di mana?"

   "Iya. Waktu itu dia langsung ngirim surat sama Reagan. Isinya singkat, 'Ngebom ni ye...' "

   Lupus jadi setengah mati menahan senyum.

   Tapi malamnya dia benar-benar kapok. Dan bersumpah akan ke dokter gigi besok pagi. Whatever will be, will be. Mau dicabut kek, dibor ek, atau. skadar dikritik, '0, Lupus, betapa Jeleknya gigimu....' Terserah!

   Dan besoknya, pagi-pagi, dia sudah nongkrong di rumah sakit. Di poliklinik gigi. Menunggu dengan pasrah sampai seorang suster memanggil namanya dan menyuruh masuk.

   "Silakan lho, jangan malu-malu...," kata suster itu genit.

   Lupus mencibir sewot.

   Dan di dalam, dia diinterogasi dengan pertanyaan-pertanyaan norak. Seperti, 'Sering sikat gigi?'; 'Punya sikat gigi berapa di rumah?'; 'Odolnya pake merek apa?', Apa suka gosok gigi pake batu bata?'; and so on.

   Sampai akhirnya, "Oke deh, saya periksa gigi kamu. Silakan duduk di kursi periksa itu."