7. Some Things Are Better Left Unsaid
Malam telah larut (emangnya gula?), ketika Lupus dan Anto melintasi jalan sepi sekitar kuburan Belanda. Udara dingin menggigit, dan bunyi-bunyi jangkrik nyaring di kejauhan. Seperti hendak mendramatisir keadaan. Dan memang, suasana di situ hening sekali. Bibir Lupus saja terkatup rapat, sama sekali tak berminat memecahkan kesunyian yang mencekam. Bukan apa-apa, nanti jangan-jangan dia malah kaget sendiri. Sementara Anto, temannya yang pendiam itu, tak mencoba mengakrabkan suasana. Padahal di daerah ini, dia tuan rumahnya. Lupus kan cuma pendatang. Diajak menginap, mumpung besok ada libur sehari. Kalau mau tahu hari libur besar atau tanggalan merah, tanya saja pada Lupus. Dia memang paling hafal. Jauh-jauh hari kerjaannya memang cukup ngafalin begituan. Hobi kayanya.
Dan sekarang, mereka berdua baru saja pulang dari nonton midnight di bioskop murahan dekat pasar inpres. Nonton film lamanya Linda Blair, Hell Night. Serem juga. Tak heran kalau kini mereka masih merasa tegang. Mana pulangnya lewat kuburan, lagi.
“Nto, nggak ada jalan lain yang lebih sepi, ya?” Akhirnya Lupus nggak betah diam melulu.
“Lho-kamu bilang tadi kita cari jalan yang terdekat. Ya, di sini ini. Kalau lewat jalan raya. udah nggak ada kendaraan. Bisa sih, jalan kaki, tapi nyampenya besok. Kan rada capek juga lho! Memang serem juga lewat sini. Apalagi kalau kamu pernah dengar cerita-cerita aneh yang sering terjadi di sini. Seperti minggu lalu. Pak Karta-yang biasa jaga malam itu cerita bahwa dia melihat seseorang berjalan tanpa kepala di kuburan di sebelah sana. Dia menjinjing sesuatu, yang nggak taunya kepalanya sendiri .... “-